Bel
sekolah berbunyi tanda pelajaran usai, aku segera bergegas membereskan
alat-alat tulisku dan memasukkannya ke tas. Aku keluar kelas dengan langkah
terburu-buru karena cuaca hari ini mendung tanda hujan segera turun. Pada
akhirnya gerimispun datang dan beberapa menit kemudian berubah menjadi hujan
yang cukup deras. Aku segera berlari ke halte bis untuk berteduh, dan seragamku
basah sedikit, aku tak membawa jaket untuk melindungiku dari kedinginan, hari ini
sungguh benar-benar menyebalkan.
Sekitar 15 menit aku menunggu bis di halte tak jauh dari sekolah, tapi kemudian datang seorang cowok yang seragamnya sudah basah kuyup terkena basahan hujan dan duduk di sampingku. Suasana hening pun terasa, hanya terdengar suara gemericik hujan yang jatuh ke tanah. Tanpa disadari cowok yang berada di sebelahku mengajakku ngobrol dan berkenalan dengannya. Ya...namanya adalah Ansaw, dia salah satu saorang siswa yang kelasnya berada di sebelah kelasku.
Setengah jam kemudian bus datang, kami segera masuk ke bus, kebetulan kami mendapatnya tempat duduk yang kosong. Diperjalanan kondektur meminta ongkos kepada para penumpang, aku sempat kebingungan harus memberi berapa ongkos kepada kondektur. Saat mencari uang didalam saku, dia mengeluarkan tiga lembar uang seribuan. Aku belum kenal persis siapa Ansaw itu, tetapi aku merasa dia memang cowok yang baik.
Sekitar 15 menit aku menunggu bis di halte tak jauh dari sekolah, tapi kemudian datang seorang cowok yang seragamnya sudah basah kuyup terkena basahan hujan dan duduk di sampingku. Suasana hening pun terasa, hanya terdengar suara gemericik hujan yang jatuh ke tanah. Tanpa disadari cowok yang berada di sebelahku mengajakku ngobrol dan berkenalan dengannya. Ya...namanya adalah Ansaw, dia salah satu saorang siswa yang kelasnya berada di sebelah kelasku.
Setengah jam kemudian bus datang, kami segera masuk ke bus, kebetulan kami mendapatnya tempat duduk yang kosong. Diperjalanan kondektur meminta ongkos kepada para penumpang, aku sempat kebingungan harus memberi berapa ongkos kepada kondektur. Saat mencari uang didalam saku, dia mengeluarkan tiga lembar uang seribuan. Aku belum kenal persis siapa Ansaw itu, tetapi aku merasa dia memang cowok yang baik.
“hai mba
boleh duduk sini?” sapa cowok itu
“boleh
kok, duduk aja” jawabku
“boleh
tanya juga ngga mba?” tanya cowok itu
“ya”
jawabku singkat
“kelihatannya
aku sering lihat mba naik bis, emang tingggal dimana?” dia kepo
“iya
emang harusnya naik bis, kalo naik odong-odong kapan nyampenya, tinggal di ngesrep”
“oh
emang di daerah mana? Kali aja aku tau dimana rumahnya”
“di sumurboto”
“keliatannya aku tau, punya adik ngga?” cowok
itu mulai serius
“emang tau dimana? Punya” jawabku seadanya
“adiknya sekolah dimana? Kelas berapa?”
“di SMP 26 kelas delapan ini”
“sama berarti, lagian aku juga pernah nganter
temen adikku pulang dan rumahnya itu di daerah sumurboto juga”
Setelah bercerita cukup panjang di perjalanan
pulang, aku dan dia menjadi lebih akrab dan saling membicarakan suatu hal dan
hal lain. Kemudian dia berdehem dan mengeluarkan ponselnya, oh ternyata dia
hanya ingin meminta nomor hapeku, katanya supaya kita lebih akrab. Aku
mengeluarkan secarik kertas plus pulpen dari tasku dan menuliskan nomor hapeku
lalu kuberikan padanya.
“kan udah tau dimana rumahnya kali aja kalau pengen main kerumah bisa hubungin kamu dulu dong” kata Ansaw
“maksudnya?” kataku jaim
“kali aja kalau lewat sumurboto bisa mampir gitu, cuma biar ngga kaget bisa sms atau telfon dulu” modusnya lagi
Bus berhenti kami turun di halte yang sama. Dan kami saling berpamitan sebelum pulang kerumah masing-masing.
Setelah sampai di rumah, ternyata nada dering nokia tune hapeku berbunyi tanda ada pesan masuk. Kubuka inbox hapeku yang ternyata dari Ansaw. Nanti sore aku jemput kamu ya, aku mau ngajak kamu makan malem bareng, ngga papa kan? | Ansaw. Oke, aku tunggu di rumah ya. Langsung kukirim balasan pesanku untuk Ansaw. Jam 5 sore, Ansaw sudah stand by di depan rumah, aku menghampirinya lalu kami berangkat ke sebuah cafe. Sesampainya di cafe, aku dan Ansaw segera memesan makanan kepada pelayan cafe. Kami pun mengobrol lagi membahas tentang adik yang kebetulan satu sekolah dan mereka bersahabat, teman smp nya, tanya-tanya tentang kepribadian kita masing-masing, dll. Pelayan cafe itu memberhentikan obrolan kami dengan membawa makanan pesanan kami. Siap santap.
Setelah dinner malam itu, pertemanan kita semakin akrab. Kami saling menunggu di halte bus apabila salah satu dari kami ada yang belum keluar gerbang sekolah. Hingga akhirnya menunggu bus bersama.
“Aku sadar bahwa itu bukan sekedar menunggu. Aku juga belajar bahwa saat busnya tiba, kau harus memutuskan untuk menaikinya atau tidak. Jika cinta itu seperti menunggu bus, terkadang bahkan jika kita mendapatkan bus yang benar bukan berarti jalannya akan selalu mulus. Dan aku selalu bahagia saat menunggu bus dengannya.“
Komentar
Posting Komentar